Pages

Search engine

Kamis, 26 Januari 2012

Novel "Moga Bunda Disayang Allah" karya Tere-liye

Hellen Keller, seorang pembicara dan penulis internasional yang memiliki keterbatasan tidak hanya buta namun juga tuli sekaligus bisu, adalah sosok nyata yang mengajarkan pada dunia bahwa manusia dilahirkan dengan wujudnya yang paling sempurna. Sehingga tidak ada alasan bagi manusia manapun untuk menyalahkan keterbatasan yang mereka sandang sebagai akibat kegagalan hidup. Tidak hanya itu, dia telah menyegarkan jiwa manusia dengan inspirasi yang mengagumkan tentang kemampuan manusia yang tidak terbatas. Novel Moga Bunda Disayang Allah adalah salah satu kisah yang tercipta karena luberan semangat dan inspirasi dari sosok Hellen Keller yang tidak pernah menyerah akan keterbatasannya.

Kisah dalam novel ini meski terinspirasi dan sedikit mengadopsi kisah Hellen Keller, namun penulis tidak semerta-merta menjadikan tema gadis buta sebagai sentral dalam cerita. Dalam novel terbentuk tiga karakter yang unik. Bunda yang memiliki putri cacat; Karang, sang guru penyayang anak-anak dan pernah dituduh mencelakakan nyawa 18 anak panti asuhan; serta Melati gadis manis enam tahun yang tengah belajar mengenal dunia, bertemu dalam jalinan kisah yang mengharukan. Dengan pengembangan imajinasi yang luas, kisah “Hellen Keller” versi Indonesia ini tidak hanya berkutat bagaimana membuat sosok Melati sembuh dari penyakitnya dan bisa berbaur ke masyarakat secara mandiri. Namun juga ada sisi di mana Melati menjadi sebuah pelajaran tersendiri bagi orang tua dan juga Pak Guru Karang. Pelajaran tersebut adalah tentang ketidak-terbatasan manusia sebagai makhluk Tuhan.


Bunda HK merasa memiliki beban yang cukup berat karena takdir yang menimpa putri semata wayangnya. Rasa kasih Bunda yang tak terbatas kepada anak gadisnya terbukti sebagai alat ampuh yang dimiliki kaum hawa untuk menembus— seperti apa yang disebut manusia awam—dinding baja. Meski hanya bersenjatakan tangis dan doa, Bunda tak hentinya mengharap kesembuhan putrinya agar bisa mengucap sebuah kata, “Bunda”. Bunda berusaha menghapus kata “tidak terkabul” dalam kamus Tuhan dengan mengirimkan pinta tulus tak berputus seorang Bunda bagi kesembuhan anaknya.


Karang, adalah sosok pemuda yang dibatasi masa lalu dan menganggap hidupnya tak lebih berarti daripada sebagai seorang pemabuk. Jadwal padat sehari-harinya hanyalah berangkat ke bar di malam-malam buta, pulang mabuk di saat orang beranjak terbangun, dan menenggelamkan diri di siang hari pada mimpi-mimpi kelam masa lalunya. Dia terbelenggu akan rasa bersalah sehingga menjadikannya orang yang sinis dan skeptis terhadap kehidupan. Bahkan, kehadiran Tuhan-pun dia pertanyakan. Hingga selanjutnya langit menjawab doa Bunda dan menuntun Bunda untuk mempercayakan anaknya kepada seorang pemabuk.


Melati menurut aturan umum disebut sebagai seorang anak yang memiliki keterbatasan dalam penglihatan, pendengaran, dan ucapan. Namun Tuhan berkata lain. Melati memiliki kelebihan yang luar biasa dibanding anak-anak pada umumnya. Rasa ingin tahunya besar akan keadaan sekelilingnya sehingga dia mudah merasa marah karena ketidaktahuan yang dimilikinya kecuali kegelapan dan kekosongan. Perasaan yang peka dan otak cerdas yang diberikan Tuhan untuknya mampu membuatnya mengenal benda-benda disekelilingnya dan mempelajari ucapan Pak Guru Karang dalam waktu satu minggu sejak pertama kali dia mampu mengakses komunikasi langsung dengan orang-orang di sekitarnya melalui telapak tangan. Sehingga dia memiliki peluang seperti anak-anak seusianya dalam memimpikan cita-cita yang tak-terbatas untuk masa depannya.


Pengarang mengusung sebuah penceritaan yang sangat bagus dalam novelnya, lancar dalam pendeskripsian dan cantik dalam mengolah ketegangan. Mengingatkan pada film-film Hollywood yang selalu menarik ulur roman histeria di antara buncah-buncah kebahagiaan. Sekaligus mengingatkan pada tipikal Rowling yang suka mencampurkan beberapa karakter yang terkoneksi satu sama lain. Uniknya, Pengarang menciptakan karakter Melati, Bunda dan Karang dalam sosok masing-masing yang tidak bisa dibedakan mana yang lebih pantas disebut sebagai tokoh utama. Di sini benar-benar terasa adanya tiga tokoh utama yang memiliki kedudukan sama sebagai agen penderita, agen perubahan, dan agen pencerahan. Menyadarkan kita bahwa manusia dalam kedudukannya sendiri-sendiri sebenarnya sedang melakoni peran penting dalam kehidupan nyata.

Sangat disayang kalau cerita ini ditulis dalam gaya bahasa populer yang kurang baku. Penggunaan berulang-ulang kosakata yang tidak baku, kalimat tambahan yang tidak perlu kadang kala mengganggu kenyamanan dalam membaca. Seperti penggunaan kata “ibu-ibu gemuk” yang artinya menunjuk pada seorang ibu yang bertubuh subur dan kata “kanak-kanak” untuk penunjukan kata benda seorang anak.

Yang terasa kurang tepat lagi adalah pilihan penulis dalam penempatan setting dan kegiatan pendukung dalam novel. Dalam novel semua tokoh digambarkan sebagai orang-orang muslim dengan segala aktivitas dan atribut mereka, namun pada ending cerita penulis menciptakan suasana pesta kembang api yang dirayakan pada tahun baru Imlek oleh masyarakat termasuk para tokoh novel. Alih-alih menyebutkan secara jelas kota atau negara terjadinya peristiwa dalam novel, sejak awal penulis hanya menyebutkan tempat-tempat semu: “rumah di atas bukit”, “daerah jauh dari ibukota”, “Tuan dan Bunda HK”. Jadi tidak terlihat jelas keberagaman budaya atau mayoritas budaya penduduk yang ada di daerah tempat tinggal tokoh Melati, sehingga kurang ada alasan tepat jika penulis dengan tiba-tiba memasukkan salah satu kegiatan tahunan keluarga Melati adalah merayakan tahun baru China
.

Untuk men-download silahkan klik di sini -> terimakasih^^ 

Sumber : termiakasih^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

AddThis